For professional profile please visit my LinkedIn

Menyusur Peninggalan Budaya Situs Megalith Gunung Padang

Sabtu (14/07) pagi kami melakukan perjalanan menuju situs megalith Gunung Padang di Desa Kartamukti, Kecamatan Campaka, Cianjur, Jawa Barat. Lokasinya sekitar 36 km dari Warungkondang melalui Cibeber-Campaka. Kami berangkat dari rumah Kepala Desa Sukadana pada pukul 10.00 WIB. Jalan menuju lokasi sepanjang kurang lebih 7 km yang sebagian besar terdiri dari jalanan berbatu kami taklukkan dengan sepeda motor, akan lebih susah jika menggunakan kendaraan roda empat. Kami melewati perkebunan teh, sehingga sesekali kami menyusuri jalan pintas melalui jalan setapak di tengah-tengah kebun teh untuk menghindari jalanan berbatu. Cukup membuat tangan dan lengan lelah karena menahan kemudi dengan kuat saat menanjak pada jalan yang hanya berupa susunan batu-batu besar. Hal itu lah yang membuat jarak sekitar 7 km kami tempuh dalam waktu hampir 1 jam. 

Situs megalith Gunung Padang, diduga berbentuk piramid. Foto: Danang D. Cahyadi

Sampai di lokasi Situs Megalith Gunung Padang, kami membeli tiket masuk, dua ribu rupiah per orang. Petugas penjaga situs sekaligus pemandu wisata di situs tersebut tampak berpakaian tradisional, dengan pakaian hitam serta memakai iket. 

Untuk mencapai situs, kami harus menaiki anak tangga yang tersusun bersama dengan adanya situs tersebut, dengan kemiringan sekitar 75 derajat. Sementara untuk turun, tidak diperkenankan melewati anak tangga tersebut karena alasan keamanan, terlalu curam, sehingga pengelola membuatkan anak tangga dengan kemiringan yang lebih landai, sekitar 600 anak tangga.

Situs ini diperkirakan dibangun pada tahun 4700 SM, pada tahun 1914 situs ini ditemukan oleh tim ekspedisi dari Belanda. Tahun 1979 situs ini dilaporkan ke Pemda Cianjur kemudian ditindaklanjuti dengan penelitian yang melibatkan para ahli. Ruangan di bawah dataran sedalam 26 m pernah ditemukan dengan konstruksi batu-batu kecil dan pasir. Padahal di sekitar situs sama sekali tidak ada daerah berpasir. Pemikiran cerdas atau teknologi primitif dibangunnya konstruksi tersebut diperkirakan sebagai antisipasi gempa. Situs tersebut dikelilingi beberapa gunung, yaitu Gunung Batu, G. Karuhun, G. Emped, G. Malati, dan G. Pasir Malang, sehingga konstruksi berpasir akan mengurangi goncangan akibat gempa vulkanik sehingga bangunan situs tersebut aman dari keruntuhan.

 Salah satu sudut susunan batu-batu yang ada di situs megalith Gunung Padang. Foto: Danang D. Cahyadi

Menurut penelitian dan penggalian yang dilakukan para ahli, batu-batu besar tersusun membentuk seperti piramid dan di dalamnya ada ruangan-ruangan. Untuk menuju ke bagian atas situs, yang menurut pemandu merupakan atap dari bangunan megalith tersebut. "Ini yang kita injak hanya atapnya saja, pernah ada penggalian ternyata masih terlihat batu-batu besar yang tersusun rapi.", begitu ungkapnya dalam bahasa Sunda. 

Di antara batu-batu berbentuk balok panjang tersebut, ada yang tersusun berdiri membentuk seperti pagar atau batas, dan ada pula yang tergeletak begitu saja. Beberapa batu dapat mengeluarkan suara seperti suara salah satu alat musik gamelan, saron. Atau yang lain lagi, gambar telapak harimau berukuran besar yang terekam pada sebuah batu.

Hal lain yang menjadi daya tarik di situs megalith tersebut adalah perihal sebuah batu. Mitos yang berkembang di kalangan pengunjung menceritakan bahwa barang siapa yang mengucapkan suatu keinginan (ijab) kemudian mengangkat batu tersebut dan batunya terangkat, maka keinginan tadi akan terwujud (qabul). Akan tetapi ini adalah mitos, pemandu sering berpesan bahwa siapa yang mampu mengangkat batu tersebut, berarti memang tenaganya kuat. Percaya atau tidak, saya lihat orang berbadan besar dan kekar mungkin tidak dapat mengangkat batu tersebut, sementara orang dengan badan biasa saja justru mampu mengangkat. Saya sendiri tidak mau mencoba mengangkat, saya tidak percaya mitos tersebut, dan saya pikir batu sebesar itu memang berat, bisa mengangkat pun harus dengan teknik yang benar. 

Di antara sekian banyak yang gagal, ada pula yang berhasil. Foto: Danang D. Cahyadi

Satu hal yang menjadi perhatian saya, adalah tentang kesadaran masyarakat yang kurang terhadap lingkungan. Sudah berkali-kali penjaga situs menginstruksikan supaya pengunjung melakukan aktivitas makan dan minum hanya di saung dan membuang sampah pada tempatnya, tetapi masih banyak yang meninggalkan sisa-sisa makanan di area situs, berserakan begitu saja. 

Bagi yang ingin mengunjungi situs tersebut, persiapkan dengan baik perjalanan Anda, gunakan sandal atau sepatu yang nyaman untuk menaiki tangga, dan jangan lupa bawa kamera. Selamat jalan-jalan! 

Veterinary anatomist | School of Veterinary Medicine and Biomedical Sciences, IPB University | Ph.D. student, Joint Graduate School of Veterinary Sciences, Tottori University, Japan

Post a Comment

Komentar atau tidak komentar tetap thank you.