LISTERIOSIS
(Irma A Pratiwi, Danang D Cahyadi, Risma A, Divo Jondriatno, Andrini A Wardhani, Trismawati W, Ayu A Azhari)
Pendahuluan
Listeriosis
merupakan suatu penyakit pada hewan dan manusia yang dapat menunjukkan berbagai
macam gejala klinis. Beberapa penelitian
terakhir menyatakan bahwa sebagian besar infeksi bersumber dari makanan (foodborne) yang terkontaminasi (Ueda et al. 2006) dan infeksi secara zoonotik
jarang terjadi (Krauss et al. 2003). Listeriosis
merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri dari genus Listeria,
dengan fokus utama pada penyakit yang disebabkan oleh Listeria monocytogenes. Bakteri ini dapat ditemukan di seluruh dunia di dalam saluran pencernaan burung,
laba-laba, binatang air yang berkulit keras (Crustacea), dan
mamalia selain manusia. Pada manusia, infeksi
L. monocytogenes dapat menyerang hampir setiap organ tubuh. Dalam tiga puluh
tahun terakhir, Listeria sp. termasuk L.
monocytogenes dan L.
ivanovii, telah berhasil diisolasi dari berbagai macam sumber. Selain manusia, setidaknya lebih dari 42
spesies mamalia dan 17 spesies burung menjadi inang Listeria sp. Sebanyak
5–10% dari populasi manusia pernah ditemukan L. monocytogenes di
dalam saluran pencernaan tanpa memperlihatkan gejala infeksi (Rocourt 1994).
Kasus
listeriosis pertama kali dilaporkan oleh E.G.D. Murray setelah mengisolasi L. monocytogenes dari seekor kelinci
pada tahun 1926. Sejak saat itu, Listeria menjadi salah satu bakteri
patogen pada hewan, yang menyebabkan circle
disease pada ruminansia (sapi, kambing, dan domba), babi, anjing, dan
kucing. Hewan yang terinfeksi akan
berjalan berputar, inkoordinasi, dan sulit berdiri. Pada manusia, penyakit ini tergolong jarang
tetapi termasuk penyakit sistemik fatal yang disebut listeriosis (Bhunia
2008). Pada tahun 1927 investigasi pada kematian
tikus tanah memberikan hasil adanya mikroorganisme baru yang memiliki ciri-ciri
sama tetapi dengan nama Listerella
monocytogenes. Namun pada
tahun 1939 Komisi Yudisial dari Komite Internasional Bakteriologi Sistematik
menolak penamaan Listerella karena
telah digunakan untuk spesies lain dari filum Foraminifera. Pada tahun 1940 Pirie mengajukan nama Listerella menjadi Listeria.
Sekitar tahun 1942 Listeria diisolasi dari tentara yang
mengalami meningitis. Pada tahun 1972 L. monocytogenes diduga menjadi penyebab
keguguran (Barathawidjaja 2002). Menurut dokumen standar pemeriksaan L. monocytogenes pada
makanan USFDA/BAM tahun 2003, genus Listeria memiliki 6
spesies, yaitu L. monocytogenes, L. innocua, L. seeligeri, L. welshimeri, L. ivanovii,
dan L. grayi.
Dari keenam spesies tersebut, diketahui
hanya L. monocytogenes
yang bersifat patogen terhadap manusia apabila mengontaminasi makanan atau
minuman yang dikonsumsi oleh individu tersebut.
Kasus listeriosis
pada manusia telah dilaporkan di berbagai negara dan termasuk dalam kasus luar
biasa. Kejadian
penyakit ini tergolong lebih rendah dibandingkan dengan foodborne illness lainnya, tetapi mendapat perhatian besar karena memiliki tingkat kematian mencapai 20% (Lathrop
et al. 2003). Sekitar akhir tahun 1970-an dan awal
tahun 1980-an penyakit ini menjadi wabah foodborne disease di Amerika Utara (Bhunia
2008). Pada tahun 1985 di California, Amerika
Serikat, sebanyak 142 orang menderita meningitis akibat Listeria sp. dan
menyebabkan kematian pada 48 orang setelah mengonsumsi keju yang berasal dari
susu yang tidak dipasteurisasi. Pada
tahun 1992 sebanyak 85 orang meninggal akibat kasus listeriosis yang
menginfeksi 279 orang setelah mengonsumsi lidah babi cincang (Slutsker
dan Schuchat 1999). Penyakit klinis
yang disebabkan oleh L.
monocytogenes lebih
sering dilaporkan oleh dokter hewan berupa meningoensefalitis
pada ruminansia (Miller et al. 2009).
Karakteristik Agen Patogen
Karakteristik Agen Patogen
Menurut
Krauss et al. (2003), L.
monocytogenes serovar 1/2a dan 4b merupakan penyebab sebagian besar infeksi
pada manusia. Listeria ivanovii subsp. ivanovii
dan L. ivanovii subsp. londoniensis jarang ditemukan sebagai agen patogen,
sedangkan spesies L. innocua dan L. seeligeri tidak bersifat patogen.
Listeria sp. berbentuk batang
(Krauss et al. 2003),
berukuran kecil (diameter antara 0.5 µm sampai 2 µm),
dan termasuk bakteri gram positif. Bakteri
ini bersifat tunggal atau membentuk rantai pendek, dan membentuk huruf V atau Y
pada palisade. Beberapa sel berbentuk
kokoid sehingga sulit dibedakan dengan Streptococcus.
Listeria
tidak memproduksi spora dan tidak membentuk kapsul serta
bersifat motil karena memiliki flagela peritrich
(Gambar 1). Kisaran suhu
pertumbuhan L. monocytogenes bergantung
pada pengolahan makanan karena bakteri tersebut bersifat psikotrofik (Lado
2003). Motilitas optimum bakteri ini pada suhu 20–25 °C dan dapat
tumbuh pada suhu 1–45 °C, dengan pH
4.5–9.2 serta pertumbuhan optimum pada pH 7. Listeria tumbuh baik pada lingkungan yang memiliki tekanan oksigen
rendah dan tumbuh pada aktivitas air di bawah 0.93 (Rocourt dan Buchrieser 2007).
Listeria sp. bersifat aerobik,
mikroaerofilik, fakultatif anaerobik, katalase positif, memfermentasi glukosa, dan
oksidase negatif. Pertumbuhan Listeria sp. akan meningkat dengan
adanya glukosa. Listeria sp.
akan
membentuk asam laktat, asetat, dan asetoin pada kondisi aerob. Pada keadaan anaerob pertumbuhan Listeria sp. didukung oleh pentosa
dan heksosa. Pada
beberapa strain yang bersifat aerob, maltosa dan laktosa akan mendukung
pertumbuhan bakteri tersebut. Sumber
karbon dan nitrogen primer untuk pertumbuhan Listeria
sp. adalah glukosa dan glutamin. Beberapa percobaan menyebutkan bahwa strain
yang virulen tumbuh lebih cepat pada media yang mengandung besi. Listeria sp. dapat tumbuh pada
lingkungan yang mengandung NaCl 10% dan dapat bertahan pada lingkungan yang
mengandung NaCl yang lebih tinggi. Ketahanan
Listeria sp. pada pH rendah dan
konsentrasi garam yang tinggi sangat bergantung pada temperatur (Rocourt dan Buchrieser 2007)
Gambar 1 Listeria monocytogenes. (Kiri) Bakteri di dalam secondary macrophage, dengan membran
vakuola ganda (Haas et al. 2007), (Kanan)
Bakteri di dalam sel manusia diamati menggunakan Coloured Transmission Electron Microscope/TEM (Gontier 2011).
Spesies
dari Listeria secara fenotip
sulit untuk dibedakan, tetapi kombinasi dari
uji hemolisis, produksi asam dari D-xilosa,
L-ramnosa, α-metil D-manosida, dan manitol
dapat digunakan untuk identifikasi spesies Listeria.
Listeria
monocytogenes bersifat β-hemolisis
(melisiskan darah dengan sempurna). Uji CAMP menunjukkan hasil positif (Gambar 2),
yang berarti bahwa bakteri memiliki substansi yang dapat bereaksi dengan Staphylococcus aureus (Abbas
dan Lichtman 2003). Uji CAMP (dicetuskan oleh Christie Atkins
Munch Peterson) adalah uji standar yang digunakan untuk mengidentifikasi
bakteri Streptococcus agalactiae melalui reaksi CAMP yang
terlihat. Uji CAMP dikembangkan untuk
mengidentifikasi karakteristik bakteri terhadap sifat melisiskan darah (Bae dan
Bottone 1980). Uji CAMP menggunakan
bakteri Staphylococcus aureus
(β-hemolisis) dan Streptococcus
agalactiae yang bersifat CAMP positif (Hanson 2006b). Identifikasi rutin Listeria sp. yang diisolasi dari makanan dilakukan dengan
menggunakan marker fenotip. Agen ini dapat bertahan di lingkungan yang
ekstrim dengan kandungan garam tinggi (10%) dan diberi agen antimikrobial (Bhunia
2008). Listeria monocytogenes dapat
tumbuh pada silase yang memiliki kualitas buruk (pH ≥ 5). Pada susu yang tidak
dipasteurisasi agen dapat tumbuh pada suhu 4 °C (Songer dan Post 2005).
Listeria
monocytogenes
merupakan bakteri yang banyak digunakan dalam mempelajari infeksi bakteri
intraseluler. Bakteri ini dapat bertahan
hidup di dalam makrofag dan menghindari mekanisme bakterisidal
oleh makrofag. Adanya Listeria monocytogenes di dalam makrofag
memicu produksi IL-2 yang akan menstimulasi sel natural killer, membantu
diferensiasi pH 0 menjadi pH 1, dan menstimulasi CD8 CTLs. Interleukin-2 merupakan sitokin yang disebut
hormon leukositotropik serta berperan sebagai stimulan proliferasi sel B dan
sel T. CD8 CTLs adalah sejenis sel T yang dapat mengenali peptida antigen dan
memiliki kapasitas untuk menginduksi kerusakan pada sel yang terinfeksi. Ketiga sel ini akan menyekresikan IFN-γ,
suatu hormon sitokin yang dihasilkan limfosit akibat induksi antigen, yang berfungsi
mengaktivasi makrofag untuk memproduksi oksigen reaktif, menstimulasi produksi
antibodi, dan mengopsonisasi bakteri dengan tujuan akhir membantu
fungsi efektor makrofag (Abbas dan Lichtman 2003).
Listeria
monocytogenes bergerak dari satu sel ke sel lain yang berdekatan dengan
membentuk kumpulan actin-rich tails di
dalam sitoplasma (Gambar 3).
Selama
stadium awal listeriosis, neutrofil dan makrofag bermigrasi ke hati dan
limpa membentuk mikroabses. Neutrofil
menunjukkan peran penting dalam mengontrol fase akut dan memediasi destruksi
hepatosit in vivo. Produk yang dilepaskan makrofag dan neutrofil
yang telah diaktifkan dapat merusak jaringan normal. Jika respon imun adekuat, kerusakan tersebut
akan menjadi normal kembali sebab makrofag yang diaktifkan juga akan
menginduksi perbaikan jaringan dengan menyekresi
growth factor yang merangsang
proliferasi fibroblas, sintesis kolagen, dan angiogenesis (Barathawidjaja 2002).
Efek utama
penyakit ini terjadi pada orang dengan sistem imun yang lemah seperti wanita
hamil, bayi, penderita AIDS, dan penerima transplantasi organ (Bhunia 2008). Hewan yang menjadi induk semang utama adalah
sapi, kambing, domba, babi, anjing, kucing, dan unggas (Songer dan Post 2005; Wesley
2007; Bhunia 2008). Habitat alami Listeria sp. adalah
tanah, air mengalir, saluran pembuangan kotoran, makanan, dan tumbuhan yang
telah terurai sebagai saprofit atau tumbuhan yang telah terkontaminasi manure serta feses penderita (Shakespeare 2002; Songer dan Post
2005).
Makanan yang
Sering Tercemar
Listeria
monocytogenes
tergolong bakteri penyebab penyakit asal makanan (foodborne disease) pada konsumen yang mengonsumsi produk makanan
terkontaminasi bakteri tersebut. Makanan
yang berpotensi sebagai media penularan bakteri
ini yaitu susu yang tidak dipasteurisasi, keju lunak, telur mentah,
daging mentah, seafood, serta sayuran
dan buah-buahan yang tidak dimasak (Lorber 2007). Listeria
monocytogenes dapat ditemukan dalam feses ternak. Kasus listeriosis banyak
terjadi karena mengonsumsi makanan yang terkontaminasi bakteri tersebut.
Makanan yang memiliki risiko tinggi
terkontaminasi L. monocytogenes diantaranya produk susu
fermentasi dan tidak
difermentasi, daging sapi, daging unggas, produk telur,
seafood, dan produk yang berasal
dari tumbuhan. Lebih spesifik lagi, makanan yang sering terkontaminasi
dan berisiko tinggi sebagai penyebab listeriosis adalah makanan siap konsumsi (ready to eat/RTE food). Ready to
eat food merupakan makanan yang sering terkontaminasi dan dari segi risiko makanan
jenis ini memiliki risiko tinggi dalam kasus listeriosis (Guerra et al. 2002; Rocourt dan
Buchrieser 2007).
Ready
to eat food terdiri atas makanan yang banyak dikonsumsi dan beragam,
terdiri atas berbagai bahan pangan, dan disimpan dengan cara dan kondisi yang
berbeda, dan siap dikonsumsi tanpa pengolahan terlebih dahulu. Beberapa contoh ready to eat food diantaranya sosis siap makan, salad, sandwich, soft/semi soft cheeses, pate,
dan ikan asap.
Manusia
yang mengonsumsi makanan terkontaminasi L.
monocytogenes akan mengalami demam, nyeri otot, mual, dan diare. Orang dewasa dan anak-anak yang sehat jarang
jatuh sakit karena mengonsumsi makanan terkontaminasi L. monocytogenes. Peluang terjadinya gangguan kesehatan lebih
banyak pada wanita hamil dan orang dewasa yang sistem kekebalan tubuhnya
terganggu (Anonim 2011).
Sumber Agen
dan Keberadaannya di Makanan
Kontaminasi
utama pada susu terjadi secara vertikal. Selain itu, feses dan silase yang mengandung L. monocytogenes juga dapat mengontaminasi susu. Pada daging sumber kontaminasi berasal dari
sisa feses yang ikut masuk ke dalam tempat pemotongan, sedangkan pada telur
sumber kontaminasi berasal dari bakteri yang terdapat di kerabang telur. Kerusakan oviduk yang diakibatkan oleh L. monocytogenes juga dapat menyebabkan
kontaminasi pada telur (Rocourt dan Buchrieser 2007).
Sumber
umum wabah berkaitan dengan konsumsi hispanic-style soft cheese (queso fresco), keju lunak, keju semilunak,
keju matang, hotdog, olahan lidah
babi, daging olahan, sosis, susu pasteurisasi, susu nonpasteurisasi, butter, udang, kerang asap, ikan asap,
salad kentang, dan sayuran mentah. Kasus
sporadis berhubungan dengan konsumsi susu mentah, es krim yang tidak
dipasteurisasi, keju ricotta, olahan
jamur, dan sayuran mentah (FAO/WHO 2004).
Gambar 4 Siklus infeksi penyakit Listeriosis (Krauss et al. 2003). |
Gejala
Klinis pada Manusia
Listeria
monocytogenes
adalah bakteri penyebab penyakit asal makanan (foodborne illness) pada konsumen yang mengonsumsi produk makanan
terkontaminasi bakteri tersebut. Periode
infeksi terjadi selama sepuluh minggu. Listeriosis diawali
dengan gejala sakit kepala, kejang abdomen, demam, mialgia, mual, dan muntah. Tahap berikutnya dapat terjadi kekakuan leher,
fotofobia kemudian
kematian. Lima hari hingga tiga minggu
setelah tertelan, bakteri ini menyebar ke seluruh tubuh dan menyebabkan
kerusakan sistem saraf, jantung, mata, dan fetus. Infeksi pada sistem syaraf
dapat mengakibatkan meningitis, ensefalitis, dan abses dengan tingkat kematian
hingga 70% (Ekandari 2009).
Keterlibatan
sistem saraf pusat yang mungkin terjadi dapat menyebabkan konvulsi, vertigo,
dan stupor. Stupor merupakan keadaan tidak responsif yang dalam,
penderita terbangun hanya jika diguncang secara berulang, dengan suara yang
keras, dicubit, ditusuk dengan jarum atau dirangsang dengan rangsangan yang
serupa. Pada orang dewasa
manifestasi penyakit yang sering ditemukan berupa meningoensefalitis.
Nekrosis yang disebabkan oleh infeksi L. monocytogenes pada plasenta dapat
menyebabkan aborsi spontan, kelahiran prematur atau transfer infeksi dari ibu
ke anak. Kondisi yang juga memungkinkan adalah
peningkatan organ yang terlibat seperti endokarditis, metritis, septikemia, dan
meningitis. Bayi dapat mengalami infeksi
sistemik pada minggu pertama atau septikemia bentuk pneumonia sebulan setelah kelahiran.
Tingkat kematian akibat infeksi bakteri
ini mencapai 20% jika pengobatan tidak dilakukan (Shakespeare 2002).
Pencegahan
Pencegahan listeriosis umumnya
memerlukan biaya lintas sektoral yang melibatkan pemerintah, industri makanan,
dan konsumen. Strategi pencegahan dapat
dilakukan melalui upaya pengaturan, pendidikan, dan surveilans terhadap makanan
yang dapat menjadi media penularan listeriosis.
Pemerintah harus memastikan adanya
peraturan terbaru untuk makanan yang berhubungan dengan permasalahan nasional dan
peraturan tersebut harus diterapkan dengan benar. Hal ini dapat dicapai melalui program yang
bersifat wajib maupun sukarela. Kebijakan
menerapkan kepatuhan yang diwajibkan (mandatory
compliance) merupakan penegakan hukum dengan mengkaji kepatuhan dalam
pelaksanaan program melalui inspeksi serta pemeriksaan laboratorium, dan
penerapan sanksinya jika kewajiban tersebut dilanggar. Program yang bersifat sukarela adalah mempromosikan
praktik pertanian dan produksi pangan yang baik serta mempromosikan penerapan
metode modern jaminan keamanan pangan seperti the Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) System. Dalam hal ini, pihak industri dan perdagangan,
termasuk industri primer (pertanian dan perikanan) bertanggung jawab untuk mengikuti
peraturan praktik higiene yang sudah diterima serta mematuhi hukum dan
perundangannya. Industri pangan harus
menyadari pentingnya keamanan pangan dan harus selalu mencari cara yang dapat
memastikan keamanan produknya, misalnya melalui penerapan sistem HACCP yang
kini sudah diakui secara internasional sebagai acuan untuk jaminan keamanan
pangan (Motarjemi 2000).
Suatu pendekatan yang komplementer
tetapi terpadu dalam pencegahan penyakit melalui makanan adalah pendidikan dan
pelatihan bagi para konsumen. Pencegahan listeriosis
dilakukan dengan tidak membiarkan makanan yang mudah rusak dalam waktu yang
lama, mencuci sayuran mentah secara menyeluruh sebelum dimakan, mengolah makanan
mentah dari sumber hewani dengan baik, dan menghindari minum susu nonpasteurisasi.
Selain itu, penyimpanan daging, sayuran, dan makanan yang sudah dimasak dilakukan
secara terpisah serta mencuci peralatan dapur setelah menangani makanan mentah.
Daftar Pustaka
[Anonim]. 2011. AS: Penarikan makanan jadi yang mengandung daging ayam karena pencemaran Listeria monocytogenes. [terhubung berkala]. http://www.adhpi. org/?p=92 [2 April 2011].
Abbas AK, Lichtman
AH. 2003. Celluler and Molecullar Immunology. Ed ke-5. Philadelphia: WB Saunders.
Alberts B, Johnson A,
Lewis J, Raff M, Roberts K, Walter P. 2002. Molecular
Biology of the Cell. Ed ke-4. New York: Garland Sci.
Biology of the Cell. Ed ke-4. New York: Garland Sci.
Bae BH, Bottone EJ.
1980. Modified Christie-Atkins-Munch-Petersen (CAMP) test for direct
identification of hemolytic and non-hemolytic group B streptococci on primary
plating. Can J Microbiol 26(4): abstrak.
[terhubung berkala]. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/
6991084 [2
April 2011].
Barathawidjaja KG. 2002. Imunologi Dasar. Ed ke-5. Jakarta: FK UI.
Bhunia AK. 2008. Foodborne Microbial Pathogens. New
York: Springer Sci.
Ekandari SE. 2009. Kajian tingkat keamanan susu ultra high temperature (UHT) impor terhadap Listeria monocytogenes. [terhubung berkala]. http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/5425 [22 April 2011].
[FAO/WHO]
Food and Agriculture Organization of the United Nations/World Health
Organization. 2004. Risk assessment of Listeria
monocytogenes in ready-to-eat foods: interpretative summary. Geneva:
FAO/WHO.
Gontier P. 2011. Listeria monocytogenes bacteria. London: Science Photo Library. [terhubung berkala]. http://www.sciencephoto. com/media/11325/view [12 Mei 2011].
Guerra MM, McLauchlin J, Bernardo FA. 2002. Listeria in ready-to-eat and unprocessed foods produced in Portugal. Food Microbiol 18(4): abstrak [terhubung berkala]. http://sciencedirect.com/ science?_ob =ArticelURL& _udi=B6WFP-458NKM5-14 [17 April 2011].
Hanson A. 2006a. CAMP
test for identification of Listeria
monocytogenes. Orono: University of Maine. [terhubung berkala]. http://archive.
microbelibrary.org/ asmonly/details.asp?id=2334 [31 Maret 2011].
Hanson A. 2006b. CAMP
test protocols, curriculum, protocol. Orono: University of Maine. [terhubung
berkala]. http://archive.
microbelibrary.org/asmonly/details.asp?id=2343 [31 Maret 2011].
Hass J, Kusinski K,
Pore S, Shadman S, Vahedi M. 2007. A ride with Listeria monocytogenes: a
trojan horse. Eukaryon 3:47–54.
Krauss H, Weber A,
Appel M, Enders B, Isenberg HD, Schiefer HG, Slenczka W, Graevenitz A von,
Zahner H. 2003. Zoonoses: Infectious
Disease Transmissible from Animals to Humans. Washington DC: ASM Pr.
Lado BH. 2003. Characteristics of Listeria monocytogenes important for pulsed
electric field process optimization [disertasi]. Graduate School, Ohio State
Univ.
Lathrop AA, Ziad WJ, Tim H, Bhunia AK. 2003. Characterization and application of a Listeria monocytogenes reactive monoclonal
antibody C11E9 in a resonant mirror biosensor. J Immunol Methods 281:119–128.
Lorber B. 2007. Listeriosis. Di dalam: Goldfine H, Shen H, editor. Listeria monocytogenes: Pathogenesis and Host Response. New York: Springer Sci. hlm 13–32.
Miller FP, Vandome AF, McBrewster J. 2009. Listeria monocytogenes. Saarbrücken:
VDM.
Motarjemi Y. 2000. Impact of small scale fermentation technology on food safety in
developing countries. Int J Food
Microbiol 75:213–229.
Rocourt J. 1994.
Listeria monocytogenes: the state of the
science. Dairy Food Environ San 14(2):70–82.
Rocourt J, Buchrieser C. 2007. The Genus Listeria and Listeria
monocytogenes: phylogenetic position, taxonomy, and identification. Di
dalam: Ryser ET,
Marth EH, editor. Listeria,
Listeriosis, and Food Safety. Ed ke-3. Boca Raton: CRC Pr. hlm 1–20.
Shakespeare M. 2002. Zoonoses. London:
Pharmaceutical Pr.
Slutsker L, Schuchat
A. 1999. Listeriosis in humans. Di dalam: Ryser ET, Marth EH, editor. Listeria, Listeriosis, and
Food Safety. Ed ke-2. New York: Marcel Dekker. hlm 75–96.
Songer JG, Post KW.
2005. Veterinary Microbiology Bacterial
and Fungal Agents of Animal Disease. Missouri: Elsevier.
Ueda F, Ogasawara K,
Hondo R. 2006. Characteristics of Listeria
monocytogenes isolated from imported
meat in Japan. Jpn J Infect Dis 59:54–56.
Wesley IV. 2007.
Listeriosis in animal. Di dalam: Ryser ET, Marth EH, editor. Listeria, Listeriosis, and
Food Safety. Ed ke-3. Boca Raton: CRC Pr. hlm 55–84.